Proses pembelajaran selama ini masih didominasi
oleh guru sehingga belum memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang
secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikir. Cara guru mengajar yang
hanya satu arah (teacher centered)
menyebabkan penumpukan informasi atau konsep saja yang kurang bermanfaat bagi
siswa. Guru selalu menuntut siswa untuk belajar, tetapi tidak mengajarkan
bagaimana siswa seharusnya belajar dan menyelesaikan masalah. Berlakunya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), menuntut perubahan paradigma pembelajaran,
salah satunya adalah pembelajaran yang berpusat pada guru beralih pada siswa (student centered).
Menurut Trianto (2007) pembelajaran dalam
konteks KTSP berbasis kompetensi juga menghendaki pembelajaran tidak hanya
mempelajari tentang konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal-hal
sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun atas materi
kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi dan sintesis.
Fisika adalah bagian dari sains (IPA), pada
hakikatnya IPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep,
prinsip, hukum, teori, dan model yang biasa disebut produk selain itu yang
paling penting dalam IPA adalah proses dalam pembelajaran. Selain memberikan
bekal ilmu kepada siswa, mata pelajaran fisika merupakan wahana untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Pada kenyataannya secara umum guru sains fisika
cenderung menggunakan metode ceramah. Guru sains fisika cenderung menggunakan
metode tersebut disebabkan keterbatasan waktu, mengejar materi dan sarana
prasarana yang kurang memadai. Pembelajaran yang kurang melibatkan siswa secara
aktif menyebabkan kurang seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik siswa. Sebagian besar dari siswa juga tidak mampu memghubungkan
antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
dimanfaatkan atau dipergunakan. Tentu saja hal tersebut cenderung membuat siswa
terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan pikirnya
dan menjadikan siswa malas untuk berpikir serta terbiasa malas berpikir
mandiri.
Untuk memecahkan masalah pembelajaran yang
tersebut perlu dilakukan upaya antara lain berupa perbaikan strategi
pembelajaran yaitu model pembelajaran yang diharapkan mempermudah siswa dalam
berpikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah sehingga tercapai hasil yang
lebih maksimal. Salah satu model pembelajaran fisika yang digunakan adalah
pembelajaran berbasis masalah.
Hasil kemampuan berpikir kritis siswa mengalami
peningkatan secara signifikan antara kelas eksperimen yang menggunakan model
PBL dan kelas kontrol yang menerapkan model DI dengan metode ceramah.
Meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dikarenakan
perubahan model pembelajaran yang mencakup kegiatan untuk melatih kemampuan
berpikir kritis siswa. Model pembelajaran PBL mengajak siswa secara langsung
aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Sebab dalam model PBL terdapat 8
langkah yang dapat mengajak siswa untuk turut aktif dalam proses pembelajaran.
Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat melatih kemampuan berpikir kritis
siswa. Sedangkan pada kelas kontrol menggunakan model DI dengan metode ceramah
dimana model tersebut sering diterapkan pada saat pembelajaran berlangsung.
Dalam model DI ini siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru, sehingga
siswa bersifat pasif dalam pembelajaran. Maka siswa dalam belajar hanya
bersifat ingatan saja tidak dapat mengaplikasikan konsep dalam dunia nyata.
Sedangkan keaktifan siswa itu sangat diperlukan dalam proses pembelajaran,
tetapi dalam model DI keaktifan siswa tidak tampak karena pemebelajaran
berpusat pada hal ini yang menyebabkan kemampuan berpikir kritis siswa pada
kelas kontrol mendapatkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kelas
eksperimen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarman (2007) bahwa suatu
pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks
bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial.
Proses pembelajaran PBL ditandai dengan adanya
masalah (dapat dimunculkan oleh siswa maupun guru), kemudian siswa memperdalam
pengetahuannya tentang apa yang diketahui dan bagaimana untuk memecahkan
masalah secara berkelompok agar saling membantu sehingga mampu berkolaborasi
dalam memecahkan masalah. Melalui PBL dengan anggota kelompok yang heterogen
memungkinkan siswa untuk saling bertukar pikiran, bekerjasama untuk memecahkan
masalah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dengan
demikian penerapan PBL juga membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kritis. Berbeda halnya pada model DI siswa tidak diberikan masalah,
tetapi siswa hanya diberi penjelasan saja sedangkan siswa hanya menulis saja
apa yang dikatakan oleh guru maka siswa hanya mendapatkan pengetahuan yang
kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Senocak (Akinoglu 2007) mengatakan bahwa model PBL lebih efektif
apabila dibandingkan model tradisional sebab model PBL lebih menerapkan
pembelajaran konsep, proses dan pemecahan masalah dalam dunia bagi siswa.
Pada
dasarnya siswa mempunyai potensi kemampuan berpikir kritis. Potensi tersebut
lebih baik dilatih sejak dini melalui pembelajaran yang mengaharuskan siswanya
aktif dan sangat disayangkan jika tidak dapat dikembangkan dengan baik.
Meningkatnya
aspek afektif dikarenakan penciptaan lingkungan belajar yang baru di dalam
kelas melalui PBL membangkitkan sikap yang baik bagi siswa. Adapun aspek
afektif dalam penelitian ini: a) kehadiran siswa; b) perhatian siswa saat
pembelajaran berlangsung; c) keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat; d)
keberanian siswa dalam bertanya; e) menghargai pendapat orang lain. Hal ini
sesuai dengan pendapat Anni (2006) bahwa dalam belajar faktor yang sangat
penting adalah tempat belajar, suasana lingkungan dan budaya belajar masyarakat
akan mempengaruhi kesiapan, proses, dan hasil belajar. Maka dengan hal tersebut
semua aspek tersebut dapat diamati ketika pembelajaran berlangsung, dimana
dalam pembelajaran menggunakan model PBL. Model PBL tersebut memiliki ciri-ciri
bahwa sebelum pembelajaran dimulai, siswa sudah dalam keadaan siap untuk
belajar. Siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil pada saat
pembelajaran berlangsung. Dengan kelompok-kelompok kecil dimaksudkan agar semua
siswa dapat bekerja sama, saling bertukar pendapat (bertanya, berpendapat), dan
dapat menghargai pendapat orang lain, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang
disepakati bersama. Model PBL dikaitkan dengan kehidupan nyata menarik
perhatian siswa, sehingga siswa termotivasi untuk selalu hadir dan masuk kelas
sebelum guru masuk. Berbeda halnya pada kelas kontrol yang menggunakan model DI
dengan metode ceramah pada saat pembelajaran siswa tidak dibagi dalam
kelompok-kelompok sehingga membuat siswa merasa bosan dalam mengikuti
pembelajaran maka sikap ilmiah siswa kurang berkembang dengan baik akibatnya
aspek afektif kelas kontrol mendapatkan hasil yang rendah dibandingkan kelas
eksperimen. Hal sesuai pendapat Walker dan Lofton dalam Akinoglu (2007) bahwa
model PBL dapat meningkatkan hasil belajar dan sikap yang positif dalam
pembelajaran. Hal senada dikemukakan oleh Ram dalam Akinoglu (2007) bahwa PBL
dapat menimbulkan sikap yang positif dalam pembelajaran selain itu siswa
mendapatkan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan nyata.
Meningkatnya
aspek psikomotorik erat kaitannya dengan keaktifan siswa ketika proses
pembelajaran berlangsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Sharmann dan
Orth-Hampton dalam Akinoglu (2007) mengatakan bahwa PBL merupakan pembelajaran
yang termasuk dalam Cooperative Learning dimana siswa bekerja sama dalam menyelesaikan masalah hal ini dapat
menimbulkan semangat kebersamaan akibatnya keaktifan siswa akan lebih
berkembang. Berbeda dengan kelas kontrol yang menggunakan model DI dengan
metode ceramah dalam pembelajaran maka akan berdampak negatif dalam praktikum
sebab siswa belum terbiasa dalam menyelesaikan masalah sendiri.
Penilaian
aspek psikomotorik siswa dalam penelitian ini meliputi: a) menyiapkan alat
percobaan; b) merangkai alat percobaan; c) melakukan pengamatan dan percobaan;
d) membaca hasil percobaan; e) mengkomunikasikan hasil percobaan. Dalam hal ini
hanya guru memberikan sedikit gambaran mengenai alat, kemudian siswa diminta
untuk menyiapkan alat dan bahan dengan tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Untuk aspek yang terakhir, siswa diharapkan mampu mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Penggunaan
model PBL dalam proses pembelajaran menjadi lebih aktif dan menyenangkan bagi
siswa karena siswa lebih mengerti tentang hal-hal yang sering dialaminya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, aktivitas ilmiah siswa dalam proses
pembelajaran akan berpengaruh pada pertumbuhan aspek psikomotoriknya.
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan
ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran. Guru dalam pembelajaran
berbasis masalah berperan dalam menyajikan masalah, memberikan pertanyaan,
mengadakan dialog, membantu menemukan masalah dan memberi fasilitas penelitian.
Selain itu guru juga menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan
pertumbuhan inquiri dan intelektual siswa (Sudarman, 2007).
Çuhadaroðlu
et al. dalam Akinoglu (2007), model Problem Based Learning dapat mengubah
siswa dari menerima informasi pasif
menjadi aktif (student centered). Model ini memungkinkan siswa
untuk memperoleh pengetahuan baru
dalam pemecahan masalah. Dalam Problem
Based Learning, sikap siswa seperti pemecahan masalah, berpikir, bekerja kelompok,
komunikasi dan informasi berkembang secara positif (Akinoglu, 2007).
Berdasarkan
penelitian Akinoglu (2007), Problem Based Learning lebih mempengaruhi
prestasi belajar siswa dibandingkan
dengan model pembelajaran tradisional yang mana telah diterapkan di sekolah.
Selain itu, penelitian lain menyebutkan bahwa Problem Based Active Learning
lebih efektif dibandingkan dengan model
klasik yang berbasis penemuan. Dalam Problem
Based Learning tampak bahwa
banyak siswa yang menyukai model ini.
Hal ini disebabkan model Problem Based
Learnin g dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan bekerja sama
dalam satu kelompok.
References
Setyorini, U., Sukiswo, S. E. &
Subali, B., 2011. Penarepan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Pendidikan Fisika Indonesia, Volume
7, pp. 52-56.
Comments
Post a Comment